mana yang lebih baik, yang memudahkan si pembelajar, atau yang memudahkan si pengajar? | for everyone |
sekali lagi, hari senin kemarin saya dan zahra diajak mertua untuk "melihat-lihat" sekolah yang kira-kira mau terima zahra. harap diketahui, kedua mertua ini luar biasa perhatiannya kepada anak-cucunya, bahkan kepada saya, menantunya. jadi segala saran dari mereka biasanya selalu saya ikuti, pertimbangan saya karena mereka pasti lebih pengalaman dan mereka juga berhak memberikan perhatian kepada cucunya.
setelah ketidakditerimaan zahra pada sekolah yang kami kunjungi pada bulan lalu, mereka tetap gigih memperjuangkan hak zahra untuk dapat bersekolah. hasil observasi terhadap zahra yang dilakukan sekolah yang kemarin tsb, persis sesuai dengan dugaan saya : zahra secara umum masih dikategorikan sebagai anak setingkat play group, meskipun usianya kini 6,5 tahun. dan mereka menyarankan hal terbaik untuk zahra saat ini adalah memperbanyak durasi terapinya dipusat-pusat terapi. hasil ini benar-benar persis dengan dugaan saya. hal inipun saaa ungkapkan kepada pihak sekolah tsb, bahwa kami selaku orang tua zahra memang memandang bahwa saat ini lebih baik fokus pada perbaikan masalah-masalah sensori yang lazim pada anak2 autis/jenis brain injured lainnya. singkat cerita, saya dan suami bersetuju untuk kembali pada jalur semula, yaitu meneruskan program terapi glenn doman nya sampai ada kelihatan perbaikan yang signifikan dan memungkinkan untuk mencari solusi pendidikan yang tepat untuk zahra.
namun ternyata mertua saya masih berpendapat bahwa zahra harus disekolahkan, dengan kata lain dididik oleh para profesional yang berpengalaman, mungkin kurang lebih demikian. jadilah saya dan zahra pergi ke sebuah yayasan homeschooling yang dinaungi oleh kak seto. ternyata memang bagus sekali institusi ini, jadi mereka ini semacam memberikan pembinaan mengenai pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. terlebih lagi, ada label kak seto-nya di belakang namanya. secara, saya kan ngefans banget sama kak seto sekeluarga, di mata saya mereka ini boleh dibilang sebagai salah satu role model bagi seluruh keluarga yang benar-benar menganggap pendidikan adalah suatu hak anak dan setiap anak merdeka dalam memperoleh pendidikan yang memerdekakan mereka. ah, menarik sekali bukan?
ala kulihal, terlibatlah saya dalam perbincangan dengan manajer dan penanggung jawab sekolah. saya salut sekali dengan kalimat yang dilontarkan sang manajer di awal pembicaraan kami. beliau mengatakan bahwa sebenarnya yang terbaik bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus adalah dengan melakukan homeschooling yang dilakukan langsung oleh orang tuanya. nah, sekolah homescooling yang mereka dirikan tersebut sebenarnya dibuat untuk mengakomodasikan kekhatwatiran para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dalam hal keterarahan/sistemasi belajar anak-anak mereka tersebut. dengan kata lain para orang tua ini ingin anaknya tetap dapat memperoleh pendidikan sesuai dengan kurikulum yang distandarkan secara nasional.
ada satu hal lagi yang juga menarik di sekolah homeschool ini. sebelum masuk sekolah ini, si anak akan diminta untuk melalui semacam placement test, jadi tidak perduli berapa usianya, tingkat kelas akan ia dapat akan didasarkan pada hasil testnya. dan bagusnya lagi si anak akan terus dipantau kemajuannya sehingga sekolah dapat menganjurkan mengenai kemungkinan untuk naik tingkat sekalipun itu di pertengahan tahun. dan bagi anak-anak yang dirasa belum mempunyai kemampuan dasar yang mencukupi untuk mengikuti sekolah, disediakan sebuah kelas persiapan sekolah. jadi si anak masih akan difokuskan pada terapi-terapi yang juga diadakan oleh sekolah itu sambil mengarahkan anak agar siap sekolah kelak.
lalu saya lontarkan pertanyaan yang menjadi main issue keluarga kami, berkaitan dengan kemampuan verbal zahra hingga saat ini masih amat sangat minim sekali. saya katakan bahwa pada kenyataannya terungkap bahwa banyak anak autis yang nyatanya sudah mampu membaca mandiri namun karena belum dapat bicara, dia tidak dapat melafalkannya. nah, apakah anak yang demikian ini dapat difasilitasi kekurangannya tersebut dan tetap dapat masuk jenjang sekolah?. sang manajer menjawab, "tidak bisa bu, karena belum tentu mereka (anak autis non verbal yang ditenggarai sudah mampu membaca) sudah paham makna kata yang dibacanya. lagipula, keseharian proses belajar mengajar akan membutuhkan interaksi komunikasi verbal. jadi selama si anak belum bisa bicara maka ia akan tetap di kelas persiapan dan terus mendapat drill dalam kemampuan wicaranya, karena mampu bicara adalah prasyarat untuk mengikuti sekolah".
terus terang, awalnya saya memiliki gambaran bahwa ada semacam sekolah yang dapat men-fasilitasi kekurangan pada satu bagian pada anak berkebutuhan khusus yang mana dapat menjembatani mereka dalam memperoleh informasi atau pun mengeluarkan kembali informasi tersebut. dan, tadinya saya sedikit berharap bahwa sekolah ini dapat mengakomodasi hal semacam itu. namun ternyata saya salah menempatkan harapan. tentu saja saya tidak dapat menyalahkan sekolah itu, karena mereka telah memiliki visi, misi serta metode mereka sendiri. dan itu sangat sah tiada terbantah. cuma saya pernah bermimpi bahwa sekali pun seorang anak memiliki keterbatasan tertentu, tidak berarti dia akan gagal memperoleh informasi dan mensintesiskan informasi tersebut dengan hasil yang setingkat dengan anak "normal", ASALKAN, kita pengajarnya dapat menjembatani kekurangannya tsb dengan fasilitas yang dimodifikasian secara khusus berdasarkan keterbatasan mereka masing-masing. dengan kata lain, karena dalam proses belajar-mengajar kalau dilihat pada tataran 'siapa yang berada pada posisi yang lebih membutuhkan', maka si pembelajarlah yang lebih membutuhkan. dengan demikian, menurut hemat saya, seyogyanya, pihak merekalah yang paling berhak mendapat kemudahan.
pada akhirnya, hingga detik ini saya hanya dapat memimpikan hal ini. namun dengan segala pertolongan dari Allah Sang Pencipta Yang Maha Adil, saya yakin bahwa bukan mustahil bagi saya untuk tetap mencoba berjalan walau sambil tertatih, dan kadang berlari hingga tak jarang terjatuh, sambil berdoa saya akan terus konsisten dalam mewujudkan impian saya tersebut, sekalipun terwujudnya hanya dalam unit terkecil, hanya anak saya sebagai pembelajar dan kami orang tuanya sebagai pengajar.
merdeka dalam belajar, dan belajar untuk merdeka!
-devie-
(hehehe..curhatnya kepanjangan nih...semoga ga puyeng bacanya ya...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar